Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melihat bahwa penghapusan dan pencegahan praktik praktik sunat perempuan (female genital mutilation and wounding) di Indonesia masih menghadapi tantangan dari dimensi agama, karena terdapat berbagai tafsir agama terhadap hukum sunat perempuan. Ini adalah tantangan terbesar. Aspek sosial budaya tampaknya dapat diatasi dengan edukasi kepada masyarakat. Aspek sosial budaya relatif teratasi. Dari sisi kesehatan juga, apalagi dengan adanya PP No. 28 tahun 2024 tentang kesehatan,” kata Asisten Direktur Perlindungan Hak Perempuan Domestik dan Rentan KemenPPPA Eni Widyanti di Jakarta, Kamis. Eni mengingatkan bahwa ada perbedaan penafsiran tentang sunat perempuan antara fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI): menurut MUI, sunat perempuan adalah salah satu bentuk ibadah yang makruh, atau dianjurkan. Di sisi lain, KUPI sepakat bahwa sunat perempuan adalah haram karena membahayakan perempuan. Dari sisi kesehatan, Eni mengingatkan bahwa sunat perempuan tidak ada manfaatnya dan dapat membahayakan perempuan dalam jangka pendek dan panjang, termasuk infeksi, rasa sakit yang parah saat melahirkan dan trauma psikologis.

Dampak kesehatan ini akhirnya diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, pasal 102 huruf a PP tersebut, yang menyatakan bahwa penghapusan sunat perempuan merupakan bagian dari upaya penyelenggaraan kesehatan reproduksi bayi dan anak usia pra-sekolah.

“PP No. 28 tahun 2024 merupakan kemajuan dari rekomendasi kebijakan, salah satu dari empat strategi dalam peta jalan . Kebijakan dalam PP ini sangat kuat. Artinya, langkah kita dalam empat strategi tersebut sudahmelampauidari roadmap,” ujar Eni. KemenPPPA sendiri juga telah menerbitkan peta jalan (Roadmap) dan Rencana Aksi Pencegahan P2GP 2020-2030. Dalam peta jalan tersebut, Eni menjelaskan bahwa KemenPPPA juga bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam pencegahan P2GP, termasuk dengan lintas kementerian seperti Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan lembaga-lembaga negara lainnya.Secara khusus, beliau menekankan pentingnya Kementerian Agama (Kemenag) untuk lebih berkomitmen dalam pencegahan P2GP dan berpartisipasi dalam penyebaran edukasi pencegahan P2GP hingga ke akar rumput, termasuk di dalamnya adalah lembaga-lembaga Majlis Taklim.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi Komnas Perempuan, Alimatul Kibutiya, menyatakan bahwa dalam perspektif kajian Tarzi, sunat perempuan tidak memiliki manfaat yang nyata.

Ia juga mengingatkan bahwa alasan sunat perempuan, dosa warisan, sebenarnya bertentangan dengan prinsip bahwa semua anak dilahirkan dalam keadaan suci atau fitrah. Selain itu, ada lebih banyak wanita Muslim yang tidak disunat daripada wanita yang disunat.

“Banyak wanita Muslim yang tidak disunat mampu menekan hasrat mereka dan tetap setia pada pasangan mereka. Sebaliknya, ada lebih banyak pernikahan anak di Gorontalo, meskipun faktanya banyak yang disunat,” kata Alimatul, yang juga seorang peneliti di UIN Sunan Karijaga Yogyakarta.