Banda Aceh - Kunjungan ke Aceh tidak akan lengkap tanpa singgah ke Masjid Raya Baiturahman di Banda Aceh.
Aceh Darussalam - Jika Anda berkunjung ke masjid yang dibangun pada tahun 1612 Masehi atau 1022 Hijriah di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda ini, sebagai seorang muslim Anda wajib menunaikan ibadah shalat di masjid ini. Hari itu hari Jumat (13/9) dan matahari sangat terik tepat pukul 12.00 siang waktu setempat. Jamaah baru saja mulai berdatangan ke masjid.
Jamaah memasuki masjid melalui enam pintu masuk satu per satu, dengan tempat untuk menaruh sepatu dan sandal. Tidak ada biaya, dan mereka hanya diberi selembar kertas dengan nomor yang harus diambil kembali. Lantai di luar area masjid, termasuk tempat penitipan sepatu dan sandal, terasa panas saat bertelanjang kaki. Tidak mengherankan, karena saat itu matahari sedang terik-teriknya.
Anehnya, panas tidak terasa ketika menginjak lantai marmer di halaman masjid. Para jamaah berjalan tanpa alas kaki menuju tempat wudhu dan tampak santai.
Empat dari 12 payung besar yang ada di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh juga dibuka untuk memberi keteduhan bagi para jamaah. Mereka.
Payung-payung raksasa ini mirip dengan yang dipasang di Masjid Nabawi di Madinah, Arab Saudi,bisa dibuka-tutup, dan telah diaplikasikan di beberapa masjid di Indonesia.
Keduanya terletak di zona WIB, namun waktu salat di Aceh rata-rata lebih lambat sekitar satu jam dibandingkan Jakarta dan daerah lain di Jawa, apalagi Semarang.
Khatib berkhotbah mulai pukul 12.52 WIB. Tengku Munawil Darwis, yang ditunjuk sebagai Khatib pengganti, mengangkat tema Kemuliaan Nabi Muhammad SAW dalam khotbahnya.
Bencana kebakaran dan tsunami
Mungkin sudah cukup banyak artikel yang membahas sejarah dan arsitektur masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh ini.
Namun, mungkin kurang diketahui bahwa masjid ini telah mengalami beberapa kali musibah, termasuk kebakaran yang disebabkan oleh tentara Belanda pada tahun 1873.
Empat tahun setelah masjid dihancurkan oleh api, Gubernur Van Lansberge berjanji untuk membangun kembali masjid di tempat yang sama, yang ia lakukan pada tahun 1879.
Pernyataan ini dikeluarkan setelah berkonsultasi dengan kepala negara Banda Aceh, dan dampak dari masjid ini terhadap (saat itu) 100% penduduk Aceh yang beragama Islam sangat besar.
Sejarahnya dijelaskan dalam buku “Sejarah Singkat Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh”, yang diterbitkan oleh pengurus Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada tahun 2012.
Meskipun gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 telah meluluhlantakkan wilayah Banda Aceh, Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh tetap berdiri kokoh.
Memang, bangunan-bangunan di sekitar masjid hancur akibat gelombang pasang. Masjid ini akhirnya digunakan sebagai tempat pengungsian.
“Air dari tsunami setinggi lantai masjid dan tidak masuk ke dalam. Semua puing-puing rumah, barang-barang dan mobil yang berserakan di halaman masjid tersapu tsunami,” ujar Mukhtar, Kepala Bagian Tata Usaha Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Saat tsunami menerjang, menurut Mukhtar, orang-orang berhamburan menuju masjid, bahkan ada yang sampai ke atap masjid. Hingga saat ini, Masjid Raya Baiturahman di Banda Aceh telah mengalami setidaknya tiga kali perluasan dan renovasi untuk mempercantik bangunan bersejarah tersebut.
Tempat ibadah dan wisata
Sebagai tempat ibadah, keberadaan Masjid Raya Baitulahman di Banda Aceh tidak hanya penting bagi masyarakat Aceh, tetapi juga bagi seluruh umat Islam.
Banyak umat Islam dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia yang selalu menyempatkan diri untuk berkunjung dan beribadah di Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh.
Selain itu, Aceh kini dipercaya menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-21 bersama dengan provinsi tetangganya, Sumatera Utara, yang menarik lebih banyak orang.
Beberapa atlet dan ofisial kontingen dari berbagai daerah juga menyempatkan diri untuk beribadah dan memanjatkan doa di masjid sebelum bertanding, seperti Wedi Sitra Y selaku pelatih Hapkido Sumatera Barat. "Tadi baru saja ada TM (technical meeting) untuk menentukan jadwal pertandingan. Saya benar-benar akan pergi ke masjid ini dan salat berjamaah. Semoga ada keberkahan untuk pertandingan,” ujarnya ketika kami bertemu di halaman masjid.
Memang, Muhammad Al Fajlin, pemain Hapkido asal Nusa Tenggara Barat (NTB), selalu menyempatkan diri untuk salat lima waktu di masjid jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Aceh, mengikuti pesan pelatihnya.
Ketertarikan terhadap Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh selalu menyempatkan diri untuk berkunjung, meski bukan beragama Islam Hal ini juga dirasakan oleh para wisatawan mancanegara.
Salah satu pasangan turis, Paul Swampillai dan Kim Godbolt, dari Sri Lanka dan Australia, terlihat berjalan-jalan di halaman masjid, menikmati keindahan arsitektur dan fasilitasnya.
Mereka berdua mengenakan ghami panjang dan Kim mengenakan kerudung yang disediakan oleh manajemen masjid untuk pengunjung non-Muslim.
Meskipun beragama Kristen, Paul mengagumi arsitektur masjid-masjid di seluruh dunia. Ia mengakui bahwa kubah hitam Masjid Raya Baitu Rahman di Banda Aceh adalah yang paling indah.
Untuk itu, Paul berharap dapat mengunjunginya lagi suatu hari nanti.
Editor Ahmed Zaenal M